Misteri Arca Menakjinggo di Situs Majapahit Jejak Garuda dalam Relief Candi Kuno. Baca: Media Detektif ‘Romantika Dan Metafiksika’
2 min read
Media Detektif ‘Romantika & Metafiksika’ – Di Dusun Unggahan, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, terdapat situs reruntuhan yang dikenal dengan nama Candi Menakjinggo. Dahulu, dalam catatan Belanda, situs ini disebut sebagai Sanggar Pamalangan oleh masyarakat setempat.
Di antara reruntuhan candi ini terdapat dua relief besar, salah satunya berbentuk makhluk bersayap yang kini dikenal sebagai Arca Menakjinggo. Namun, asal usul arca ini masih menjadi misteri, dan tidak ada catatan pasti kapan ditemukan. Ketika Kapten Johanes Willem Bartholomeus Wardenaar diutus oleh Thomas Stamford Raffles untuk meninjau lokasi ini, candi tersebut sudah runtuh dan hanya tersisa reruntuhan bata serta dua relief yang masih bertahan.
Pada ekskavasi tahun 2007, ditemukan berbagai artefak menarik, termasuk fragmen terakota, mata uang kepeng, keramik Dinasti Yuan (1279-1368), serta miniatur rumah dan arca katak. Di situs ini juga ditemukan 64 panel relief yang menggambarkan cerita fabel, seperti Tantri Kamandaka dan Panji Kuda Semirang.
Namun, menurut Wong Agung Mukti Jayadiningrat, relief bersayap yang dianggap sebagai Arca Menakjinggo sebenarnya bukanlah representasi dari tokoh Menakjinggo. Dilihat dari bentuknya, relief tersebut lebih menyerupai Garuda, wahana Dewa Wisnu. Kisah Garuda yang menyelamatkan ibunya dari cengkeraman naga dengan menebus air suci Tirta Amerta menjadi inspirasi bagi relief candi pemuja Wisnu. Garuda, setelah pengorbanannya, diangkat menjadi wahana Dewa Wisnu dan cerita pengorbanannya terus dipuja di candi-candi Waisnawa.
Situs di Dusun Unggahan ini dapat dipastikan merupakan candi pemuja Wisnu, mengingat kedekatannya dengan Trowulan, pusat kejayaan Majapahit di mana ajaran Kasyiwandan Waisnawa hidup berdampingan, sebagaimana tercermin dalam kitab Sutasoma karya Mpu Tantular dengan semboyan “Tan Hana Dharma Mangrwa”.
Namun, ada perubahan menarik dalam sejarah. Situs yang awalnya dikenal sebagai Sanggar Pamalangan, pada suatu masa berganti nama menjadi Candi Menakjinggo. Menurut Wong Agung, perubahan nama ini kemungkinan terjadi pada era 1800-an, di mana kesenian Langendriyan Menakjinggo dari Mangkunegaran mencapai puncak popularitasnya. Data juga menunjukkan bahwa Arya Suganda, putra Mangkunegaran IV, diangkat menjadi Bupati Banyuwangi pada tahun 1881, dan KRT Notodiningrat, Bupati Pasuruan, turut mempopulerkan kesenian Janger Menakjinggo Damarwulan di Jawa Timur pada masanya.
Meskipun demikian, Wong Agung menegaskan bahwa relief burung raksasa di Candi Menakjinggo ini bukanlah gambaran Menakjinggo, raja Blambangan. Jika mengacu pada versi Surakarta, Menakjinggo justru digambarkan sebagai raja berkepala anjing, bukan burung. Hal ini semakin memperkuat bahwa candi ini dulu merupakan tempat pemujaan bagi pengikut Waisnawa, bukan representasi dari tokoh Menakjinggo.
Penulis : R/KRT Sujono Dipuro & Wong Agung Mukti Joyodiningrat